Kamis, 18 Juni 2015

Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer

SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL
Ciri-Ciri Presidensial
Kekurangan Presidensial
Kelebihan Presidensial
·      Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
·      Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan rakyat.
·      Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.
·      Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan eksekutif (bukan kepada kekuasaan legislatif).
·      Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
·      Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif.

·      Kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
·      Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
·      Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas
·      Pembuatan keputusan memakan waktu yang lama.

·   Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
·   Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Filipina adalah enam tahun dan Presiden Indonesia adalah lima tahun.
·   Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
·   Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.


SISTEM PEMERINTAHAN PARLEMENTER
Ciri-Ciri Parlementer
Kekurangan Parlementer
Kelebihan Parlementer
·       Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.
·       Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan undang-undang.
·       Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.
·       Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
·       Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
·       Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.

·         Kedudukan badan eksekutif atau kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
·         Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
·         Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
·         Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
·       Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
·       Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
·       Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
·       Pembuatan keputusan memakan waktu yang cepat.



Akuntabilitas Pelayanan Publik

Dalam Konteks pelayanan publik maka “akuntabilitas berarti suatu ukuran yang menunjukkan  seberapa  besar  tingkat  kesesuaian  penyelenggaraan  pelayanan dengan  ukuran  nilai-nilai  atau  norma  eksternal  yang  ada  di  masyarakat  atau  yang dimiliki  oleh  para  stakeholder”.. Dengan demikian  tolak  ukur  dalam  akuntabilitas pelayanan publik adalah publik itu sendiri yaitu arti nilai-nilai atau norma-norma yang diakui,  berlaku  dan  berkembang  dalam  kehidupan  publik.  nilai-nilai  atau  norma tersebut  diantaranya  transparansi  pelayanan,  pinsip  keadilan,  jaminan  penegakan hukum,  hak  asasi  manusia,  orientasi  pelayanan  yang  dikembangkan  terhadap masyarakat pengguna jasa[1].
Berdasarkan  keputusan  Menteri  Pendayagunaan  Aparatur  Negara  Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 tentang Teknik Transparansi dan Akuntabilitas  Penyelenggaraan  Pelayanan  Publik,  penyelenggaraan  pelayanan publik  harus  dapat  dipertanggungjawabkan,  baik  kepada  publik  maupun  kepada atasan/pimpinan  unit  pelayanan  instansi  pemerintah  sesuai  dengan  ketentuan peraturan  perundang-undangan.  Pertanggungjawaban  pelayanan  publik diantaranya[2]:
1)            Akuntabilitas kinerja pelayanan publik 
a.             Akuntabilitas  kinerja  pelayanan  publik  dapat  dilihat  berdasarkan  proses  yang antara  lain  meliputi;  tingkat  ketelitian  (akurasi),  profesionalitas  petugas, kelengkapan  sarana  dan  prasarana,  kejelasan  aturan  (termasuk  kejelasan kebijakan atau peraturan perundang-undangan) dan kedisiplinan.
b.             Akuntabilitas kinerja pelayanan publik harus sesuai dengan standar atau akta/janji pelayanan publik yang telah ditetapkan.
c.              Standar  pelayanan  publik  harus  dapat  dipertanggungjawabkan  secara  terbuka, baik kepada publik maupun kepada atasan atau pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah.  Apabila  terjadi  penyimpangan  dalam  hal  pencapaian  standar,  harus dilakukan upaya perbaikan.
d.             Penyimpangan  yang  terkait  dengan  akuntabilitas  kinerja  pelayanan  publik  harus diberikan kompensasi kepada penerima pelayanan.
e.             Masyarakat  dapat  melakukan  penelitian  terhadap  kinerja  pelayanan  secara berkala sesuai mekanisme yang berlaku.
f.               Disediakan  mekanisme  pertanggungjawaban  bila  terjadi  kerugian  dalam pelayanan  publik,  atau  jika  pengaduan  masyarakat  tidak  mendapat  tanggapan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
2)            Akuntabilitas Biaya Pelayanan Publik
a.             Biaya  pelayanan  dipungut  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan yang telah ditetapkan;
b.             Pengaduan masyarakat yang terkait dengan penyimpangan biaya pelayanan publik, harus ditangani oleh petugas/pejabat yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan/Surat Penugasan dari pejabat yang berwenang.
3)            Akuntabilitas Produk Pelayanan Publik
a.             Persyaratan  teknis  dan  administratif  harus  jelas  dan  dapat dipertanggungjawabkan dari segi kualitas dan keabsahan produk pelayanan;
b.             Prosedur  dan  mekanisme  kerja  harus  sederhana  dan dilaksanakan  sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
c.              Produk pelayanan diterima dengan benar, tepat dan sah.
Untuk  menjamin  terwujudnya  suatu  tingkat  kinerja  yang  diinginkan,  efektivitas dan akuntabilitas publik akan banyak tergantung kepada pengaruh dari pihak-pihak yang  berkepentingan  tersebut  diatas  meliputi: Pertama, terdiri  dari  publik  dan konsumen  pelayanan  yakni  pihak  yang  terkait  dengan  penyajian  pelayanan  yang paling menguntungkan mereka. Kedua, terdiri dari pimpinan dan pengawas penyaji pelayanan publik, yang merupakan pihak-pihak berkepentingan terhadap pelayanan. Ketiga, terdiri  dari penyaji  pelayanan itu sendiri dengan  tujuan  dan  keinginan yang seringkali berbeda dengan pihak  pertama  dan  kedua di atas. Dengan demikian, secara  absolut  akuntabilitas  memvisualisasikan  suatu  ketaatan  kepada  peraturan dan  prosedur  yang  berlaku, kemampuan  untuk  melakukan  evaluasi  kinerja, keterbukaan  dalam  pembuatan keputusan,  mengacu  pada jadwal  yang  telah ditetapkan dan menetapkan efisiensi  dan  efektivitas  biaya  pelaksanaan  tugas-tugasnya[3].
Menurut Dwiyanto, et.all untuk mengukur akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik dalam penelitian dilihat melalui indikator-indikator kinerja yang meliputi[4]:
1)            Acuan pelayanan yang dipergunakan aparat birokrasi dalam proses penyelenggaraan  pelayanan  publik.  Indikator  tersebut  mencerminkan  prinsip orientasi  pelayanan  yang  dikembangkan  oleh  birokrasi  terhadap  masyarakat pengguna jasa;
2)            Tindakan yang dilakukan oleh aparat birokrasi  apabila  terdapat  masyarakat pengguna jasa yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan; dan
3)            Dalam menjalankan tugas  pelayanan,  seberapa  jauh kepentingan  pengguna jasa memperoleh prioritas dari aparat birokrasi.
Finner  dalam  Joko  Widodo  menjelaskan  akuntabilitas  sebagai  konsep  yang berkenaan  dengan  standar  eksternal  yang  menentukan  kebenaran  suatu  tindakan birokrasi.  Pengendalian  dari  luar  (external  control)  menjadi  sumber  akuntabilitas yang  memotivasi  dan  mendorong  aparat  untuk  bekerja  keras.  Masyarakat  luas sebagai penilai  objektif  yang  akan  menentukan accountable atau  tidaknya  sebuah birokrasi[5].
Akuntabilitas pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi, dalam hal ini ialah kantor pelayanan Administrasi merupakan kewajibannya untuk mempertanggungjawabkan  keberhasilan  atau  kegagalan  pelaksanaan  misinya dalam memberikan pelayanan.
Sehingga secara  sederhana  dapat  dikatakan  bahwa  menciptakan  akuntabilitas berarti  menyelaraskan prosedur pelayanan  sesuai  dengan  nilai-nilai atau norma-norma yang ada di masyarakat demi kepuasan pelanggan. Terciptanya akuntabilitas dalam  penyelenggaraan  pelayanan  publik  ini  tidak  saja  menguntungkan  bagi masyarakat akan tetapi juga mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan pemerintahan. Dalam konteks politik akuntabilitas akan berimplikasi pada kekuasaan karena  akuntabilitas  melahirkan  kepercayaan  dan  legitimasi  sebagai  syarat berlangsungnya kekuasaan[6]



[1]  Anang Armunanto, “Akuntabilitas  Pelayanan Publik di Kantor Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobongan” (Tesis; Universitas Diponegoro semarang, 2005), h. 28.
[2]  Ratminto  &  Atik  Septi  Winarsih, “Manajemen Pelayanan : Pengembangan Model Konseptual, Penerapan  Citizen’s  Charter  dan  Standar  Pelayanan  Minimal”  (Cet.  I;Yogyakarta:  pustaka pelajar,2005), h. 216-218
[3]  Kodar  Udoyono,  “E-Procurement  Dalam  Pengadaan  Barang  dan  Jasa  Untuk  mewujudkan Akuntabilitas di Kota Yogyakarta” (Jurnal  Studi  Pemerintahan  Volume  3  Nomor  1  Februari  2012). h. 138
[4]  Agus Dwiyanto dkk, op. cit., h. 55.
[5]  Kodar Udoyono, loc. cit.
[6]  Anang Armunanto, “ Akuntabilitas  Pelayanan  publik  di  kantor  Kecamatan  Purwodadi  kabupaten
Grobongan” (Tesis; Universitas Diponegoro semarang,2005) h. 30

Pelayanan yang Akuntabel

Terwujudnya good governance merupakan  tuntutan  bagi  terselenggaranya manajemen  pemerintahan  dan  pembangunan  yang berdayaguna  berhasil  guna  bebas dari  korupsi, kolusi dan  Nepotisme  (KKN). Secara  teoritis,  konsep  penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) sangat relevan dengan konsep masyarakat madani  yang  pernah  diwujudkan  oleh  sistem  pemerintahan  nomokrasi  Islam  pada zaman  berlakunya  konstitusi  Madinah.  Dalam  masyarakat  madani  sistem penyelenggaraan  pemerintahan  dibangun  dalam  suatu  tatanan  yang  demokratis  dan responsif.  Pembangunan  suatu  pemerintahan yang mengandung unsur-unsurdemokratis dan responsif diperlukan suatu upaya yang relevan guna mewujudkan suatu tatanan pemerintahan yang demokratis dan responsif[1].

Dalam konteks pelayanan publik, Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara  diartikan  sebagai  segala  bentuk  kegiatan  pelayanan  umum  yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya  kebutuhan  masyarakat  maupun  dalam  rangka  pelaksanaan  ketentuan peraturan perundang-undangan. “Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai  pemberian  layanan  (melayani)  keperluan  orang  atau  masyarakat  yang mempunyai  kepentingan  pada  organisasi  itu  sesuai  dengan  aturan  pokok  dan tata cara yang telah ditetapkan”[2].

Pada  dasarnya pelayanan  publik  mencakup  tiga  aspek,  yaitu    pelayanan barang,  jasa,  dan  administratif.  Wujud  pelayanan  administratif    adalah  layanan berbagai  perizinan,  baik  yang  bersifat  non  perizinan  maupun    perizinan.  Perizinan merupakan salah satu aspek penting dalam  pelayanan   publik ,salah satunya  ialah perizinan mengenai Izin mendirikan Bangunan.

Pelayanan  perizinan  adalah  segala  bentuk  tindakan    yang  dilakukan  oleh pemerintah kepada masyarakat yang bersifat legalitas atau melegalkan kepemilikan, hak, keberadaan, dan kegiatan individu atau  organisasi , sehinnga Izin Mendirikan Bangunan merupakan izin  yan  diberikan  untuk  melakukan  kegiatan  membangun yang  dapat  diterbitkan  apabila  rencana  bangunan  dinilai  telah  sesuai  dengan ketentuan yang meliputi aspek pertahanan, aspek planalogis (perencanaan), aspek  teknis, aspek kesehatan, aspek kenyamanan, dan aspek lingkungan[3].

Berdasarkan keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 tentang Teknik Transparansi dan Akuntabilitas Penyelenggaraan Pelayanan Publik, penyelenggaraan pelayanan publik  harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, diantaranya tentang prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan publik yang meliputi[4] :
1)            Kesederhanaan : prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2)             Kejelasan :
a.             Persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik
b.             Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam  memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik
c.              Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
3)            Kepastian dan tepat  waktu : pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
4)            Akurasi : produk pelayanan publik dikerja dengan benar, tepat, dan sah.
5)            Tidak diskriminatif : tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan tatus ekonomi.
6)            Bertanggungjawab : pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertangungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
7)            Kelengkapan  sarana  dan  prasarana  :  tersedianya  sarana  dan  prasarana kerja,  peralatan  kerja  dan  pendukung  lainnya  yang  memadai  termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.
8)            Kemudahan akses : tempat dan lokasi serta sarana  pelayanan  yang memadahi,  mudah dijangkau oleh  masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.
9)            Kejujuran :  cukup jelas
10)       Kecermatan : hati-hati, teliti dan telaten
11)       Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan : aparat penyelenggara pelayanan harus  disiplin, sopan, ramah, dan memberikan pelayanan dengan ikhlas, sehingga penerima pelayanan merasa dihargai hak-haknya
12)       Keamanan dan kenyamanan : proses dan produk pelayanan publik dapat memberikan rasa aman, nyaman dan kepastian hukum.
Akuntabilitas  juga  salah  satunya  dapat  dilihat  sebagai  faktor  pendorong  yang menimbulkan tekanan kepada faktor-faktor terkait untuk  bertanggungjawab  atas pelayanan  publik  dan  jaminan  adanya  kinerja  pelayanan  publik  yang  baik.  Frank Bealey mengatakan bahwa dengan akuntabilitas berarti[5] :
“(1) to be in position of stewardship and thus to be called to order or expected to answer question about one’s subordinates; (2) accountable means ‘censurable’ or ‘dismissable’; (3) accountability is usually regarded as an ingredient of democracy”
Jadi,  menurut  Bealey,  bertanggungjawab  (akuntabel),  apabila  dalam  posisi sebagai pelayanan dan mampu menjelaskan apa yang telah dikerjakan. Disamping, akuntabilitas sebagai salah satu unsur penting dari demokrasi. 
Kontrol dari masyarakat merupakan faktor penting dalam menjelaskan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik, karena esensi  akuntabilitas  adalah Kontrol.”kondisi  yang  terjadi  selama  ini  adalah  dominasi  birokrasi  dalam penyelenggaraan Negara telah mengerdilkan kekuatan lain dalam masyarakat sehingga birokrasi lepas dari kontrol masyarakat”. Situasi demikian mengakibatkan pelayanan publik  diselenggarakan  lepas dari kendali  masyarakat  sehingga  nilai-nilai  dan  norma-norma  penyelenggaraan  seringkali  tidak  sesuai  dengan  keinginan  atau  harapan masyarakat.
Akar demokrasi adalah tuntutan terhadap akuntabilitas dan tanggungjawab publik  para  menteri  dan  pegawai  publik.. Friedrich  menyarankan  pandangan bahwa  akuntabilitas  administrasi  tidak  dapat  dicapai  melalui  institusi  kontrol  legal-formal  dan  bahwa  kualitas  administrasi,  dan  kebijakan  tergantung  pada  norma internal yang mengatur pemahaman pejabat tentang kewajiban terhadap masyarakat  dan  pemahamannya  tentang  tanggungjawab  professional.  Finer menyatakan  bahwa  akuntabilitas  harus  formal  dan  merujuk  pada  cara  kontrol eksternal.  Yang  jelas  kedua  dimensi  tanggungjawab  dan  akuntabilitas  sangat penting bagi pemerintahan yang demokratis.



[1]  Prof.Dr. Faisal Abdullah, S.H., M.Si. op. cit., h. 3-4.
[2]  Prof.Dr.  Lijan  Poltak  Sinambela  dkk,  “  Reformasi  Pelayanan  Publik  :  Teori,  Kebijakan,  dan Implementasi” (Cet.5; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 5.
[3]  Shahnaz Kameswari, “Efektivitas  Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan pada Dinas Pemukiman dan Tata Ruang Kabupaten tana Toraja” (Skripsi; Universitas Hasanuddin Makassar, 2012), h. 39
[4]  Drs. H. Surjadi, M. Si., op. cit.,  h. 65-66                                                                                                
[5]  Dr.H Manggaukang Raba, op. cit., h. 79-80