Kamis, 18 Juni 2015

Akuntabilitas dan Peranannya dalam Pelayanan Publik

Pendahuluan
Tulisan singkat ini mengurai tentang salah satu pendukung  yang mempengaruhi keberhasilan reformasi birokrasi khususnya di bidang pelayanan publik, yaitu akuntabilitas. Mengapa akuntabilitas dianggap penting? Unsur – unsur apa saja yang melengkapi ketersediaan akuntabilitas, serta  bagaimana mekanisme akuntabilitas bisa mendukung pelayanan publik yang baik.

Di akhir tulisan ini akan dipaparkan bagaimana akuntabilitas dikembangkan sehingga bisa menjalin sinergi yang  posistif dengan birokrasi dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik.

Beberapa Definisi dan Seberapa Penting Akuntabilitas?
Pusdiklat BPKP (2007), memandang bahwa Semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance dan clean government) telah mendorong pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang jelas, tepat, teratur, dan efektif yang dikenal dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Menurut  BPKP, Akuntabilitas dipandang sebagai perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik.

Menurut Starling (1998;164) dalam Kumorotomo (2005) mengatakan bahwa akuntabilitas  ialah kesediaan untuk menjawab pertanyaan publik. Kesulitan untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap kualitas pelayanan publik terutama disebabkan karena sosok pemerintah itu sendiri tidak tunggal. Untuk itu diperlukan sistem akuntabilitas bagi lembaga pemerintah yang memadai sebagai syarat penting peningkatan kualitas layanan publik.

Menurut Dwiyanto (2010), birokrasi weberian memandang akuntabilitas secara sederhana, yaitu sebatas hubungan bawahan dengan atasannya (Gerth & Mills dalam Sharirits & Hyde,1978;24). Akuntabilitas seorang aparat birokrasi adalah pertanggungjawabannya kepada atasan,bukan kepada kolega,kelompok dan organisasinya. Model seperti ini membuat kepedulian terhadap kepentingan dan misi organisasi menjadi rendah.

Denhardt (1998;18) dalam Kumorotomo (2005) menawarkan literatur akuntabilitas dikaitkan dengan kualitas subyektif, berupa tanggung jawab para pejabat publik dan di lain pihak banyak menyebut pentingnya kontrol struktur yang menjamin pertanggung jawaban tersebut. Di sisi lain, Dwiyanto (2010) membagi kepercayaan ke dalam dua jenis yaitu political trust dan social trust. Dalam perspektif politik, kepercayaan terjadi ketika warga menilai lembaga pemerintah dan para pemimpinya dapat memenuhi janji, efisien,adil dan jujur (Blind,2007).

Sampai saat ini, menurut Kumorotomo (2005) banyak  perilaku birokrat yang masih berorientasi pada kekuasaan bukannya kepentingan publik ataupun pelayanan publik serta adanya perbedaan yang besar antara apa yang dimaui oleh rakyat dengan apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan. Kegagalan administrasi publik dalam menjembatani kepentingan elit politik dan rakyat pada umumnya, mendorong rakyat agar birokrasi menjadi netral. Dengan adanya kontrol dan akuntabilitas yang kuat, diharapkan rumusan kebijakan oleh birokrat tidak lagi berorientasi sempit semata.

Dalam Pandangan Dwivedi dan Jabbra (1989) akuntabilitas pelayanan publik merupakan metode yang digunakan oleh lembaga publik dan pejabat publik dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, dan proses yang seharusnya dilakukan lembaga atau pejabat publik untuk mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan yang dilaksanakan. Dipandang sebagai sebuah strategi untuk memenuhi standar yang dapat diterima dan sebagai cara untuk mengurangi penyalagunaan kekuasaan dan kewenangan.

Elemen – Elemen Akuntabilitas

Ferlie et al (1997;202-216) dalam Kumorotomo (2005) membedakan beberapa model akuntabilitas yakni akuntabilitas ke atas, akuntabilitas kepada staff, akuntabilitas ke bawah; akuntabilitas berbasis pasar dan akuntabilitas pada diri sendiri. Dua model pertama menekankan pada konsep kontrol, pengawasan atau pengendalian di dalam birokrasi publik. Akuntabilitas ke bawah, terhubung dengan konsep partisipatif, bahwa aktifitas politik dan pelayanan publik harus memiliki kaitan yang erat dengan proses konsultatif antara rakyat dengan wakilnya (legislatif). Akuntabilitas berbasis pasar mengutamakan kompetisi dan mekanisme pasar sehingga rakyat memiliki pilihan yang banyak terhadap kalitas pelayanan publik yang dikehendaki. Sehingga perlu diperbanyak penyedia alternatif alternatif pelayanan publik disamping memperluas informasi dan mentepkan standar pelayanan publik yang baik. Akuntabilitas diri sendiri mengutamakan pada penghayatan nilai nilai moraldan etika pejabat dalam menjalankan tugas pelayanan.

Polidano (1998) membedakan akuntabilitas menjadi dua yaitu akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui rantai komando tertentu.

Dwivedi dan Jabbra (1989) menguraikan akuntabilitas pelayanan publik  yang mencakup lima elemen sebagai berikut ; pertama, Akuntabilitas Administratif/ Organisasional (Administrative/ Organizational Accountability), Akuntabilitas ini menuntut pemangkasan hubungan birokrasi antara tanggung jawab dan perintah yang dilaksanakan; kedua, Akuntabilitas Hukum (Legal Accountability) , berhubungan dengan tindakan dalam domain publik untuk memperkuat proses legislatif dan yudikatif. Ketika kekuatan legislatif dan yudikatif untuk menghukum administrasi baik tidak dengan cepat maupun tidak luas, akuntabilitas hukum dapat diterapkan, cepat atau lambat, atau hukum akan diubah; ketiga, Akuntabilitas Politik (Political Accountability) Akuntabilitas politik dalam beberapa kasus memasukkan akuntabilitas  administrasi atau organisasi, terutama karena politisi terpilih menganggap tanggung jawab baik politik maupun hukum untuk mencapai hasil pekerjaan; keempat, Akuntabilitas Profesi (Profesional Accountability) menuntut PNS profesional untuk menyeimbangkan antara pelaksanaan kode etik profesi dengan kepentingan masyarakat. Sekali waktu, keduanya tidak dapat berjalan bersamaan dan kadang-kadang juga sejajar atau bersaing untuk didahulukan; kelima, Akuntabilitas Moral (Moral Accountability) Aktivitas pejabat publik harus berakar pada prinsip moral dan etika sebagai pembenaran atas dokumen konstitusi dan hukum, dan diterima publik untuk membentuk norma dan perilaku sosial.

Polidano membagi akuntabilitas kedalam tiga elemen utama yaitu:  pertama, Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah keputusan dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur perilaku para birokrat dengan menundukkan mereka di bawah persyaratan prosedural tertentu serta mengharuskan adanya otorisasi sebelum langkah tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini secara tradisional dihubungkan dengan badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun setiap departemen/lembaga dapat saja menyusun aturan atau standarnya masing-masing). Kedua, akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat untuk menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus dijalankan sebagai kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang langsung berkaitan dengan hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen publik baru (new public management). Hal ini mungkin saja tergantung pada target kinerja formal yang berkaitan dengan gerakan manajemen publik baru; ketiga, peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi suatu departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga eksternal seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen, atau lembaga peradilan. Bisa juga termasuk badan-badan di luar negara seperti media massa dan kelompok penekan. Aspek subyektivitas dan ketidakterprediksikan dalam proses peninjauan ulang itu seringkali bervariasi, tergantung pada kondisi dan aktor yang menjalankannya.

Bagaimana mekanisme dan pengembangan akuntabilitas?

Sedangkan BPKP (2007), melihat bahwa dalam pelaksanaan akuntabilitas di instansi  pemerintah, harus memegang teguh tiga prinsip yaitu pertama, Adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi yang bersangkutan; kedua, Berdasarkan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundangundangan yang berlaku ; ketiga, menunjukkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.

Tatang,  menyebutkan beberapa metode untuk menegakan akuntabilitas antara lain :
  1. Kontrol Legislatif : Legislatif melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya. Jika komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja.
  2. Akuntabilitas Legal : Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara hukum. Pemerintah dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan pada badan peradilan yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan landasan ini biasanya memiliki sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan atas semua tindakannya.
  3. Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu konstitusi maupun legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat. Ombudsmen mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan menyusun rekomendasi tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa membebani masyarakat.
  4. Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga dapat ditegakkan melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan partisipasi. Terdapat beberapa situasi khusus di mana berbagai tugas pemerintah didelegasikan ke tingkat lokal yang dijalankan oleh para birokrat lokal yang bertanggung jawab langsung kepada masyarakat lokal. Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting seperti dalam kasus pemerintah pusat. Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi lebih merupakan fungsi otonomi di tingkat lokal.
  5. Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat sering memainkan peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif permanennya masa jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit pemerintahan setingkat menteri diharapkan dapat mempertahankan kontrol hirarkis terhadap para pejabatnya dengan dukungan aturan dan regulasi administratif dan finansial dan sistem inspeksi.
  6. Media massa dan Opini Publik: Hampir di semua konteks, efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas sangat tergantung tingkat dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya, misalnya, adalah bagaimana dan sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan media massa untuk memberitakan penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum para pelakunya. Terdapat 3 faktor yang menentukan dampak aktual dari media massa dan opini publik. Pertama, kebebasan berekspresi dan berserikat harus diterima dan dihormati. Di banyak negara, kebebasan tersebut dilindungi dalam konstitusi. Derajat penerimaan dan rasa hormat umumnya dapat diukur dari peran media massa (termasuk perhatian terhadap pola kepemilikan) dan pentingnya peran kelompok kepentingan, asosiasi dagang, organisasi wanita, lembaga konsumen, koperasi, dan asosiasi profesional. Kedua, pelaksanaan berbagai tugas pemerintah harus transparan. Kuncinya adalah adanya akses masyarakat terhadap informasi. Hal ini harus dijamin melalui konstitusi (misalnya, UU Kebebasan Informasi) dengan hanya mempertimbangkan pertimbangan keamanan nasional (dalam pengertian sempit) dan privasi setiap individu. Informasi yang dihasilkan pemerintah yang seharusnya dapat diakses secara luas antara lain meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragam informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah dan efektivitas media massa akan sedikit dibatasi. Ketiga, adanya pendidikan sipil yang diberikan kepada warga negara, pemahaman mereka akan hak dan kewajibannya, di samping kesiapan untuk menjalankannya
Daftar  Pustaka :


BPKP (2007) “Akuntabilitas Instansi Pemerintah”, Pusdiklat Pengawasan BPKP. Edisi Kelima.

Dwivedi, O.P. and Joseph G. Jabbra. 1989. Public Service Accountability A Comparative Perspective. Connecticut: Kumarian Library.

Dwiyanto, A (2010) “Patologi Birokrasi: Sebab dan Implikasinya bagi Kinerja Birokrasi Publik“,  dalam Mengembalikan Kepercayaan Publik melalui Reformasi Birokrasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kumorotomo, Wahyu (2005) “ Akuntabilitas dalam teori dan praktek” ; Akuntabilitas Birokrasi Publik, Sketsa pada masa transisi. Yogyakarta; MAP UGM dan Pustaka Pelajar.

Polidano, C., “Why Bureaucrats Can’t Always Do What Ministers Want: Multiple Accountabilities in Westminster Democracies.” Public Policy and Administration 13, No. 1, Spring 1998, p 38.

Wiranto, Tatag : Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pelayanan Publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar