Hubungan antara
birokrasi dan politik telah menjadi tema klasik dalam studi administrasi
public. Dimana muncul konsep Dikotomi antara Politik dengan Administrasi oleh
Woodrow Wilson. Ia menjelaskan bahwa politik dan administrasi berada di dua
posisi yang berbeda. Politik menyangkut bagaimana membuat kebijakan publik
sedangkan administrasi berkaitan dengan implementasi kebijakan publik.
Perjalanan administrasi public tidak terlepas dengan perkembangan ilmu politik.
Dalam Paradigma Ilmu administrasi antara tahun 1900-1926 terjadi dikotomi
Politik dan Administrasi, namun pada tahun 1950-1970 Administrasi Negara masuk
sebagai ilmu politik. Namun setelah era tersebut sekitar tahun 1970-an sampai
sekarang administrasi negara berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu
ilmu politik menjadi bagian tak terpisahkan dari ilmu administrasi Negara.
Kajian birokrasi dan politik, mengingatkan kembali antar hubungan masa lalu
antara ilmu administrasi Negara dengan ilmu politik. Kedua disiplin ilmu
tersebut memilki ranah yang berbeda, namun dalam prakteknya kedua ilmu tersebut
sulit untuk dibedakan. Terkadang keduanya saling mendukumg bahkan saling
menghambat satu sama lain. Melihat kondisi saat ini dinamika antara birokrasi
dan politik sangatlah pelik. Namun kombinasi keduanya jika ditempatkan dalam
posisi yang tepat masih memiliki kesempatan untuk menuju good governance.
Yang diperlukan
birokrasi saat ini adalah memiliki criteria ‘a man who knows the way,
shows the way and goes the way’. Berusaha untuk mengetahui
jalan atau cara yang akan ditempuh publik, menunjukkannya ke publik dan ikut
menjalankannya bersama publik. Netralitas birokrasi memang merupakan acuan yang
ideal untuk mewujudkan administrasi negara yang stabil, bersih dan efisien.
Namun realitanya birokrasi adalah alat implementasi keputusan politik yang pada
akhirnya akan menyimpulkan bahwa birokrasi dan politik akan selalu berjalan
bersama-sama. Hanya saja birokrasi harus punya batasan tertentu agar tidak terjebak
di dalam kepentingan kekuasaan politik. Birokrasi juga harus lebih meningkatkan
profesionalismenya melalui perubahan orientasi pelayanan dari perilaku
kotak-kotak menuju perilaku team work, dan dari orientasi pada atasan
menuju costumer focus dan costumer satisfaction. Semua ini
bisa terwujud jika didukung oleh Sumber Daya
Aparatur yang berkualitas.
Wajah
Birokrasi dan Politik di Indonesia
Birokrasi identik
dengan keteraturan, sitematis,dan kaku namun disamping itu birokrasi adalah
garda terdepan pelayanan rakyat. Birokrasi berlaku dalam segala Lini
pemerintahan baik dari tingkat nasional maupun tingkat desa. Birokrasi
menekankan pada efisiensi dan kecepatan dalam mencapai tujuan. Seperti yang
telah disampaikan oleh Bintoro Tjokroamidjojo yang mengemukakan pengertian
tentang birokrasi, menurutnya sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah
agar pekerjaan terselesaikan secara cepat dan teroganisir. Disamping itu Blau
dan Page (1956) menambahkan bahwa Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi
yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administrative yang besar dengan
cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.
Sangat jelas terlihat bahwa adanya birokrasi pasti berhubungan dengan
administrasi, dan idealnya birokrasi menjamin keberlangsungan administrasi
secara efektif dan efisien.
Namun dalam
prakteknya, birokrasi sering diidentikkan sebagai suatu kinerja yang
berbelit-belit, tidak jelas, lama, pelayanan yang kaku dan tidak memuaskan,
penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme. Seharusnya birokrasi lebih
mengutamakan kepentingan umum, nyatanya birokrasi hanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu. Terbukti dengan berbagai macam kasus yang terjadi dari
kubu birokrasi indonesia. Seperti fenomena suap yang masih tumbuh subur dalam
tubuh birokrasi. Sistem birokrasi yang ada saat ini menempatkan birokrasi
sebagai penguasa daripada pelayan masyarakat, sehingga dimata public kinerja
birokrasi dianggap buruk.
Maraknya berbagai
macam kasus dalam tubuh birokrasi tidak terlepas dari para pejabat yang
berkuasa yang berlindung dalam kekuatan politik. Terlepas dari kasus-kasus suap
yang melibatkan birokrasi pemerintah dan politik, sebenarnya sudah sejak lama
birokrasi Indonesia berada dalam bayang-bayang politik. Birokrasi yang merupakan
pemegang peran sentral dalam masyarakat sering dihadapkan pada situasi
dilematis, dimana birokrasi sering dijadikan sebagai alat politik untuk
memperoleh atau mempertahankan sebuah kekuasaan dalam pemerintahan. Realitanya,
birokrasi memang sulit lepas dari bayang-bayang politik, mengingat bahwa
kebanyakan pemimpin-pemimpin birokrasi berasal dari para politisi yang
menduduki jajaran petinggi dalam partai politik. Untuk mengembalikan peran
birokrasi yang sesungguhnya yaitu sebagai administrator publik yang
berorientasi pada profesionalisme dan efisiensi pelayanan public diperlukan
adanya reformasi birokrasi.
Banyak pandangan
tentang hubungan diantara keduanya ketika keduanya berjalan bersama. Pandangan
yang pertama Birokrasi terkesan menjadi penghambat berlangsungnya pemenuhan
tujuan-tujuan politik. Seperti contohnya apabila terdapat pejabat poitik yang
meiliki visi untuk rakyatnya terkadang harus terhambat pelaksanaannya dengan
alasan tidak sesuai dengan prosedur, perlu waktu, dsb. Sedangkan pandangan yang
kedua melihat bahwa politiklah yang menjadi kambing hitam dari segala
permasalahan birokrasi. Politik cenderung membuat birokrasi berbelok dari
kodratnya. Birokrasi yang terorganisir menjadi birokrasi yang penuh dengan
pemakluman, yang semula sebagai pelayan rakyat, kini menjadi pelayan golongan.
Memang patut dibenarkan jika birokrasi hanya sebagai pelaksana kebijakan
public, sedangkan politik sebagai aktor yang membuat kebijakan public. Apabila
pembuat kebijakan publiknya lebih mementingkan kepentingan golongan tertentu
maka alur birokrasi akan mengikutinya. Jadi dapat dikatakan bahwa warna
birokrasi tergantung warna politiknya.
Faktor-Faktor
Politik Dalam Kinerja Birokrasi
Dalam proses
menjalankan suatu kebijakan, birokrasi-birokrasi negara tidaklah steril dari
lingkungan politik suatu negara. Berjalan atau statisnya implementasi kebijakan
negara oleh birokrasi-birokrasi negara sangat dipengaruhi lingkungan
perpolitikan suatu negara. Pengaruh-pengaruh tersebut dalam berlangsung dari
lingkup internal, eksternal, resmi, ataupun non resmi.
B. Guy Peters,
sehubungan dengan dimensi pengaruh politik suatu negara terhadap jalannya
administrasi publik yang dijalankan birokrasi-birokrasi negara, membaginya ke
dalam dua dimensi. Peters mendasarkan dimensi-dimensi tersebut pada sejumlah
aktivitas politik yang dilakukan seorang administrator publik. Dimensi pertama
adalah internal-eksternal, sementara dimensi kedua adalah formal-informal. Demi
mudahnya penjelasan, berikut adalah skema Peters mengenai kedua dimensi politik
tersebut:
Dimensi pertama,
internal-eksternal, khususnya internal, menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan
politik di dalam suatu birokrasi yang berupaya mencari sejumlah masukan dari
kelompok kepentingan, partisan, eksekutif politik, dan sejumlah besar sumber-sumber
lain guna membuat suatu kebijakan. Pada sisi eksternal, adalah
kegiatan-kegiatan politik birokrasi yang berupaya mencapai pemeliharan dan
perkembangan organisasi.
Dimensi kedua,
formal-informal, bicara mengenai sifat resmi dari suatu politik administrasi.
Pada administrator publik berinteraksi baik dengan pejabat-pejabat resmi
pemerintahan (DPR, eksekutif, perwakilan-perwakilan daerah). Selain itu, para
administrator publik juga bersentuhan dengan para aktor politik yang tidak
resmi seperti tokoh-tokoh masyarakat, para pengacara, kelompok penekan, dan
sejenisnya. Sifat formal ataupun informal pun sulit dibedakan sebab terkadang
terdapat lobi-lobi tidak resmi antara birokrat publik dengan para anggota DPR,
misalnya, dalam menjalankan suatu proyek pembangunan.
Kedua dimensi
politik tersebut sulit untuk dilepaskan dari aktivitas keseharian
birokrasi-birokrasi negara termasuk para birokratnya. Kondisi steril atas
pengaruh kedua dimensi politik tersebut sulit untuk diciptakan. Pengaruh kedua
dimensi tersebut pula kemungkinan besar yang membuat roda birokrasi negara
tersendat atapun maju dalam mencapai target-target pekerjaannya.
Dimensi
Internal-Formal
Dimensi
Internal-Formal kegiatan politik dalam birokrasi negara misalnya hubungan antar
individu di dalam birokrasi ataupun antara birokrasi tersebut dengan kolega
birokrasinya. Misalnya, kepolisian nasional suatu negara menghendaki lintas
komunikasi yang positif antara pimpinan tertinggi dengan jajaran di bawahnya.
Fenomena kontemporer semisal konflik di tubuh Kepolisian Republik Indonesia
membuktikan tidak terbangunnya koordinasi komprehensif antara pimpinan-bawahan.
Buruknya hubungan tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi kinerja birokrasi
kepolisian, khususnya dalam hal pemrosesan informasi dan lalu-lintas wewenang
di dalam organisasi.
Selain itu, negara
memiliki birokrasi yang bervariasi. Tercapainya tujuan negara, salah satunya
ditentukan baik dan koordinatifnya hubungan antar birokrasi. Misalnya, kasus
Buruh Migran Indonesia di luar negeri menampakkan koordinasi kerja yang kurang
koordinatif antara Departemen Tenaga Kerja, Departemen Luar Negeri, dan
Kedutaan Besar Indonesia di negara luar. Departemen Tenaga Kerja bertugas
melakukan pemastian legalitas pekerjaan seorang Indonesia yang hendak berangkat
ke negara asing. Departemen Luar Negeri menjamin legalitas lalu-lintas seorang
pegawai ke luar negeri dan menjalin kerja sama dengan negara luar guna
melindungi tenaga kerja Indonesia. Sementara itu, kedutaan besar melakukan
pemantauan sehari-hari atas nasib orang-orang Indonesia di wilayah
kewenangannya. Ketidakpaduan kerja ketiga Departemen tersebut membuat lambat,
tidak efektif, dan terabaikannya nasib orang-orang Indonesia di luar negeri.
Dimensi
Internal-Informal
Kendati sifatnya
informal, lobi memainkan peranan khusus dalam advokasi suatu kebijakan oleh
birokrasi negara. Misalnya, dalam kasus penggusuran atau pengalihan lahan rumah
dan pasar-pasar tradisional. Dalam kasus tersebut, birokrasi negara (misalnya
walikota atau gubernur) tidak dalam sekadar melakukan koordinasi dengan jajaran
resmi pemerintah semisal Polisi Pamong Praja. Kasus tersebut menghendaki
pendekatan atau lobbi khusus terhadap subyek penggusuran atau pengalihan lahan.
Maraknya kasus
konflik diametral antara warga tergusur dengan aparat pemerintah merupakan
dampak dari lemahnya lobi yang dilakukan jajaran birokrasi negara terhadap
mereka. Kendati bukan merupakan struktur politik formal, para warga dan
tokoh-tokohnya merupakan warganegara yang harus dihormati hak-haknya untuk hidup
dan memiliki tempat tinggal. Mereka bukan sekadar obyek mati yang dapat
dipindahkan tanpa semangat negosiasi. Dalam kasus ini, pihak pemerintah daerah
memiliki masalah resmi yaitu menciptakan tata ruang kota yang nyaman dan indah
untuk ditinggali. Sebab itu, mereka harus mendekati (melobi) subyek warganegara
yang menjadi sasaran dari proyek tersebut, kendati mereka adalah aktor informal
suatu kebijakan.
Contoh lain dari
internal-lobbi adalah kepentingan Departemen Hukum dan HAM, Departemen Dalam
Negeri, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pengelolaan yang
efektif dan efisien atas partai-partai politik di Indonesia. Salah satu
kesulitan dari Indonesia adalah banyaknya partai-partai politik dengan
perolehan suara yang kurang signifikan sehingga memperberat beban keuangan
negara dan meningginya distrust publik atas partai politik. Ketiga birokrasi
negara tersebut patut melakukan langkah-langkah komprehensif dan koordinatif
dengan tokoh-tokoh partai politik guna membendung arus pendaftaran partai-partai
peserta Pemilu baru yang cenderung membengkak di masa-masa menjelang Pemilu.
Eksternal-Formal
Salah satu hal yang
sulit disediakan sendiri oleh birokrasi negara adalah budget (anggaran).
Anggaran suatu departemen diperoleh dari kas negara dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Misalnya, kebijakan alokasi 20% APBN untuk pendidikan
nasional merupakan berkah bagi Departemen Pendidikan Nasional sekaligus musibah
bagi departemen-departemen lainnya yang juga amat membutuhkan anggaran dari kas
negara demi operasionalisasi tujuan-tujuannya.
Kesepakatan
budgeting bagi satu birokrasi negara murni merupakan kesepakatan formal antar
birokrasi negara dengan Presiden selakukan regulatornya. Ini akibat penambahan
budget bagi satu birokrasi dapat saja berarti pengurangan bagi birokrasi
lainnya. Sebab itu kesepakatan formal antar pimpinan birokrasi (menteri atau
eselon 1) merupakan syarat formal alokasi anggaran suatu negara. Tanpa
kesepatakan tersebut, dapat dimungkinkan suatu kondisi hubungan tidak harmonis
antarbirokrasi negara.
Eksternal-Informal
Selain mengandalkan
pada kas negara, birokrasi-birokrasi negara juga kerap mengandalkan sumber daya
yang bersifat informal. Sumber daya ini berasal dari klien kebijakan mereka
(clientele support). Dapat dicontohkah, pasca Krisis Ekonomi 1997 dan tatkala
melakukan pemulihan ekonomi nasional, karena keterbatasan dana yang dimiliki,
pemerintah c.q. Departemen Keuangan mengeluarkan kebijakan Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS). Kendati masih memiliki andil pembiayaan awal lembaga tersebut,
sebagian besar dana LPS berasal dari iuran Bank-bank yang menjadi anggota LPS.
Bank-bank rela mengeluarkan dana bagi LPS karena diyakini akan membuat nasabah
dan calon nasabah percaya untuk menyimpan uang di bank-bank milik mereka.
Lewat iuran LPS,
pemerintah c.q. Departemen Keuangan saling berbagi beban dengan bank-bank
swasta nasional dalam mengatasi kemungkinan kredit macet dan krisis moneter.
Langkah serupa juga umum dilakukan Departemen Pendidikan Nasional dalam
proyek-proyek bantuan yang mereka kerjakan. Dalam suatu proyek bantuan bernilai
Rp.200.000.000 misalnya, pemerintah memberi kewajiban subyek yang dibantu
menyediakan dana sharing untuk menambah kebutuhan sehubungan proyek tersebut.
Misalnya, dalam proyek peralatan otomotif, pemerintah menghendaki total biaya
yang mereka keluarkan Rp.200.000.000 digunakan sepenuhnya untuk membeli mesin
bubut dan mobil bekas. Sementara lembaga pendidikan yang dibantu harus
menyediakan dana sendiri baik untuk listrik, tenaga penjaga, montir, atau
sarana untuk menyimpan peralatan. Ini guna menjamin barang yang dibeli dari
dana bantuan digunakan secara efektif di samping meringankan beban pemerintah
jikalau harus menyertakan dana lagi untuk memasang arus listrik dan sarana lain
yang dibutuhkan sehubungan dengan bantuan termaksud.
Konflik
Birokrasi
Michael Klaussner
and Mary Ann Groves menyatakan, konflik baik di dalam maupun antar organisasi
merupakan suatu hal yang lumrah dalam perjalanan roda administrasi publik.
Konflik-konflik yang mungkin muncul dapat bersifat : (1) interpersonal (terjadi
antar individu dalam organisasi), antarkelompok antardivisi (antara dua atau
lebih kelompok dalam organisasi), ataupun antarorganisasi (melibatkan dua atau
lebih organisasi).
Birokrasi negara
adalah pula merupakan sebuah organisasi yang dianggotai sejumlah individu.
Secara teoretis, birokrasi - dalam pemahaman Max Weber--- mengandaikan
keterpaduan antar unsur di dalam organisasi. Jika keterpaduan tercipta, maka
fungsi dan tujuan organisasi lebih mungkin terselenggara. Namun, birokrasi
negara dapat saja menjadi medan tempur di mana dua atau beberapa individu
memperebutkan pengaruh politik ataupun dukungan politik. Misalnya, birokrasi
pemerintahan daerah Indonesia yang terkonfigurasi dari paduan dua atau lebih
partai politik memiliki kepentingan berbeda-beda. Gubernur atau wakil gubernur
yang kebetulan berasal dari dua partai berbeda dapat saja berkonflik satu sama
lain dalam memanajemen birokrasi.
Selain itu, di
dalam tubuh organisasi umumnya terdapat bagian-bagaian atau divisi-divisi.
Tidak jarang, masing-masing dari mereka memiliki kepentingan yang berbeda.
Misalnya, departemen penelitian dan pengembangan memiliki hubungan yang
konfliktual dengan departemen hubungan masyarakat. Departemen pertama
mengandalkan pekerjaan berjangka dan hati-hati, sementara departemen terakhir
mengandalkan penampilan, kecepatan memberikan jawaban, dan respon cepat atau
suatu kejadian.
Konflik ketiga,
yaitu antar organisasi kini tengah menjadi fenomena. Contohnya, di Amerika
Serikat terdapat 2 organisasi yang saling bertolak belakang kepentingannya.
Pertama National Security Agency yang menghendaki penutupan informasi dari
publik, membatasi arus penyebaran suatu informasi, dan penekanan pada
kehati-hatian. Kedua, National Aero Space Association (NASA) yang menekankan
pada publikasi penemuan yang sekecil-kecilnya, penyebarluasan informasi detail
penelitian ruang angkasa dan sejenisnya. Jika NSA menilai suatu penemuan adalah
penting untuk disimpan oleh pemerintah, mana NASA justru menilai penemuan tersebut
adalah prestasi yang harus segera dipublikasikan kepada masyarakat luas bahkan
dunia. Konflik antar organisasi ini muncul akibat karakter organisasi yang
berbeda secara alamiah, sesuai fungsi masing-masing.
Kesimpulan
Birokrasi dan
politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Diantara keduanya saling
mempengaruhi baik bersama menuju kebaikan maupun menuju ketidakbaikan. Wajah
birokrasi yang tampak terkadang tergantung dari wajah politiknya. Karena
birokrasi merupakan implementasi dari kebijakan-kebijakan politik. Birokrasi
menuntut keteraturan sedangkan politik malah berlaku sebaliknya, namun diantara
keduanya saling bersinergi membentuk satu kesatuan yang padu.
Dinamika diantara
keduanya terjadi saat kondisi diman birokrasi tidak sejalan dengan politik.
Terdapat pemisahan ranah gerak antara birokrasi dan politik, ranah-ranah
tersebut anatara lain dimensi Internal-formal, Internal-Informal, Eksternal
Formal dan eksternal-Informal. Jadi pada intinya keduanya dapat bergerak secara
berkesinambungan dalam berbagai dimensi. Namun patut untuk dipahami bahwa
dimensi-dimensi tersebut hanya berlaku dalam tataran sisitem, diluar itu masih
banyak actor-aktor yang mewarnai kondisi keduanya. Aktor-aktor itulah yang
menentukan warna dan arah gerak antara birokrasi dan Politik.
Sumber :
Thoha, Miftah.
2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Raja Grafindo Persada.
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar